Aku membenci gerimis. Entah kenapa. Gerimis selalu
memberi aura buruk di hidupku. Termasuk saat kelahiranku. Aku lahir disaat
gerimis turun. Nyawa mama hampir melayang saat itu. Namun yang aku tak habis
pikir mama malah memberiku nama Drizzy.
Saat ini aku duduk di bangku taman. Masih bersamamu,
di sampingmu. Namun hari ini kulihat wajahmu layu seolah tak ada gairah. Cuaca
cukup cerah. Sesungguhnya aku berulang kali menyapamu. Tapi kau tak menoleh
sedikitpun. Mungkin kau sedang tak mau diganggu. Akhirnya aku letih dan memilih
diam.
Di tengah kediamanku, flashback kejadian yang terjadi
antara aku dan kamu membentuk sileut yang tergambar jelas di area pikiranku.
Setelah menerima pesan singkatmu, aku bergegas ke
taman. Aku duduk di kursi ini. Kursi yang menjadi saksi perasaan kita. Kursi
yang kugunakan untuk mengatakan betapa aku mencintaimu.
Aku menunggumu hingga senja datang. Namun batang
hidungmu sedikitpun tak tampak. Aku
tetap menunggumu hingga gerimis perlahan turun. Aku masih bertahan menantimu
meski aku membenci gerimis. Langit sangat gelap ditutupi mendung. Aku tau hujan
deras akan datang setelah gerimis hilang.
Ya, benar saja. Sesaat kemudian gerimis berganti
menjadi hujan lebat. Gelap mulai menyelimuti bumi. Namun aku tetap bertahan.
Aku tau kau akan datang. Aku sangat memahami karaktermu. Kau bukanlah wanita
pengingkar janji.
Semenit, dua menit, tiga menit, setengah jam, sejam,
dua jam, waktu berlalu. Namun kau tetap tak datang jua. Hujan lebat telah
digantikan oleh gerimis-gerimis kecil. Aku mencoba menghubungimu. Namun nomermu
selalu sibuk. Aku melangkah gontai meninggalkan taman. Kau tau? Padahal aku
sangat merindukanmu.
Berjalan di tengah gerimis ditemani baju basah
membuatku merasa pusing. Aku tak mampu berjalan normal. Hingga aku tak sadar berjalan
di tengah jalan dan sebuah mobil menabrakku.
Citttt… bunyi rem yang dipijak mendadak, menggema di
udara malam itu. Aku terkulai di aspal. Kepalaku pecah. Darah dari mulut,
hidung, kepala, dan beberapa anggota tubuhku berceceran di aspal.
Dari ujung jalan kau lari tergopoh-gopoh. Mobil yang
menabrakku kabur begitu saja. Kau menghampiri jasadku yang terkulai. Kau
menangis. Tak lama kemudian ambulans yang kau panggil datang dan membawaku ke
rumah sakit. Dokter mencoba memasang berbagai alat untuk menyelamatkanku. Aku
mencoba memasuki ragaku. Tapi sia-sia. Jiwaku telah berpisah dari ragaku. Kau
histeris. Rehan, sahabatku, berdiri di sampingmu dan mencoba menenangkanmu.
“Sabar Metha, ini yang terbaik untuk Drizzy,” ujarnya.
Kau menangis di dadanya. Ingin rasanya aku berteriak
melihat hal itu. Aku cemburu. Aku tau Rehan sangat menginginkanmu. Namun selama
ada aku disisimu ia tak mungkin mendapatkanmu.
Dan kini kau masih tetap diam di kursi kita. Pipimu
telah basah oleh airmata. Mungkin kau teringat akan kejadian setahun lalu itu.
Ingin aku menghapus air matamu, namun setiap kali kucoba, tanganku menembus
tubuhmu.
Tiba-tiba gerimis turun. Ah, aku membencinya. Sangat
membencinya. Dan benar saja, gerimis selalu memberi nuansa buruk. Rehan datang
dengan payung di tangannya. Menghampirimu dan mengajak pergi seraya
memayungimu.
“Lupakan kejadian itu, sayang. Ada aku disini. Lupakan
Drizzy. Dia masa lalu. Please, ingat anak-anak kita.”
Gerimis masih turun. Namun aku hanya
bisa terduduk lunglai menatap kepergianmu bersama Rehan, pengemudi mobil yang
menabrakku.
Link info lomba: http://www.facebook.com/messages/#!/groups/301946559849517/doc/361573727220133/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar