Burung-burung
beterbangan kembali ke sangkarnya. Lembayung
berangsur-angsur hadir mengiasi langit menjelang malam. Warna merah bercampur
ungu berpadu di langit sore. Kala itu aku duduk di padang luas penuh ilalang.
Aku menatap dan mencoba menikmatinya.
Lembayung begitu jelas terlihat dari
sini.
"Kau
tau, sebenarnya senja begitu kejam."
Aku
tertegun mendengar ucapanmu.
"Maksudmu?"
tanyaku sambil menoleh ke arahmu. Kau sangat tampan, setidaknya di mataku.
Matamu yang teduh penuh kedamaian, hidungmu yang tidak terlalu mancung, dan
bibir tipismu yang selalu terbingkai senyum selalu merusak hari-hariku. Dan
kini bayanganmu tergambar jelas di atas sana. Dengan background lembayung yang menghiasi, kau tampak
gagah.
"Ya,
senja selalu membawa pergi hari ke dekapan malam. Kau taukan, malam begitu
dingin, mencekam, dan begitu mengerikan."
Aku tertawa saat
melihatmu mengatakan hal itu.
"Aku
tau, tapi aku tak pernah takut. Meskipun senja membawa terbang hari menuju kegelapan yang
pekat," ujarku menggebu. Sebingkai senyum tergurat di wajahku.
Kau
menatapku tajam. Tajam sekali hingga sanggup menembus ruang jantungku dan
membuat lidahku kelu tak mampu berucap.
"Kenapa?"
tanyamu menyidak.
Aku
tertawa renyah. "Kan ada kamu," bisikku manja seraya mengalungkan
tanganku di lenganmu. Kusandarkan kepala di bahumu. Perasaan nyaman merasuki
tubuhku.
Kita
menikmati sore itu hingga lembayung
benar-benar telah pergi dari langit.
Aku
tersenyum mengingat hal itu. Kutatap langit. Lembayung berangsur-angsur menghilang. Tiba-tiba batinku terasa
perih. Butiran bening keluar perlahan membasahi pipiku.
Seorang gadis kecil berlari-lari menghampiriku.
“Nek, nenek kenapa?” tanyanya polos.
Kualihkan pandangan ke arahnya. Kemudian aku
berjongkok di hadapannya.
“Nenek teringat pada kakek. Dulu kakek suka sekali
kemari,” ujarku seraya menatap jauh ke dalam matanya. Saat ini ia berusia 4
tahun.
“Kakek? Mama bilang kakek udah pergi jauh, ya, Nek?”
lagi-lagi dengan polosnya ia bertanya. Aku tak sanggup membendung air mata. Kerinduanku
pada Ilham, lelaki yang selama 30 tahun mendamping hidupku kembali terbayang. Aina,
cucuku itu mengusap air mataku.
“Nenek gak boleh nangis. Emang kakek pergi kemana? Kakek
pasti kembali,” bisiknya mencoba menenangkanku. Ah, bijaknya cucuku. Terimakasih
Ilham kau telah meninggalkan keturunan yang sangat bijaksana sebelum malam
membawamu pergi bersama lembayung. Aina
semakin keheranan melihatku bengong.
“Nenek kenapa, sih? Kakek kemana?” kali ini
pertanyaannya semakin mendesak. Ia mulai ikut menangis karena melihatku tak
henti menangis. Kualihkan pandangan kami ke arah timur. Lembayung benar-benar telah tiada, sementara sisa-sisa warna senja
masih tampak di ujung langit.
“Kau lihat warna jingga itu?” tanyaku. Ia mengangguk
pelan seraya memandang langit.
“Kakek dibawa mereka menuju gelap yang pekat. Kakek tak
mungkin kembali. Sekarang kita pulang, ya. Sebentar lagi malam gelap akan tiba.
kita tak bisa berjalan di kegelapan,” ujarku seraya menuntunnya pulang.
Aina
hanya mengikutiku dengan menyimpan sejuta pertanyaan tentang senja, lembayung, dan malam. Sambil berjalan,
matanya tak henti menatap ke belakang, ke arah senja yang beranjak hilang.
Mau ikutan lomba ini? Klik di sini http://www.facebook.com/messages/#!/groups/301946559849517/doc/361573727220133/