Selamat datang di rumah Diera. Selamat mencicipi postingan-postingan yang ada. Jangan bosen berkunjung yaa :)

06 Mei 2012

Lomba FF Inspirasi-ku_Bawa Pergi


Burung-burung beterbangan kembali ke sangkarnya. Lembayung berangsur-angsur hadir mengiasi langit menjelang malam. Warna merah bercampur ungu berpadu di langit sore. Kala itu aku duduk di padang luas penuh ilalang. Aku menatap dan mencoba menikmatinya. Lembayung begitu jelas terlihat dari sini.
"Kau tau, sebenarnya senja begitu kejam."
Aku tertegun mendengar ucapanmu.
"Maksudmu?" tanyaku sambil menoleh ke arahmu. Kau sangat tampan, setidaknya di mataku. Matamu yang teduh penuh kedamaian, hidungmu yang tidak terlalu mancung, dan bibir tipismu yang selalu terbingkai senyum selalu merusak hari-hariku. Dan kini bayanganmu tergambar jelas di atas sana. Dengan background lembayung yang menghiasi, kau tampak gagah.
"Ya, senja selalu membawa pergi hari ke dekapan malam. Kau taukan, malam begitu dingin, mencekam, dan begitu mengerikan."
Aku tertawa saat melihatmu mengatakan hal itu.
"Aku tau, tapi aku tak pernah takut. Meskipun senja membawa terbang hari menuju kegelapan yang pekat," ujarku menggebu. Sebingkai senyum tergurat di wajahku.
Kau menatapku tajam. Tajam sekali hingga sanggup menembus ruang jantungku dan membuat lidahku kelu tak mampu berucap.
"Kenapa?" tanyamu menyidak.
Aku tertawa renyah. "Kan ada kamu," bisikku manja seraya mengalungkan tanganku di lenganmu. Kusandarkan kepala di bahumu. Perasaan nyaman merasuki tubuhku.
Kita menikmati sore itu hingga lembayung benar-benar telah pergi dari langit. Aku tersenyum mengingat hal itu. Kutatap langit. Lembayung berangsur-angsur menghilang. Tiba-tiba batinku terasa perih. Butiran bening keluar perlahan membasahi pipiku.
Seorang gadis kecil berlari-lari menghampiriku.
“Nek, nenek kenapa?” tanyanya polos.
Kualihkan pandangan ke arahnya. Kemudian aku berjongkok di hadapannya.
“Nenek teringat pada kakek. Dulu kakek suka sekali kemari,” ujarku seraya menatap jauh ke dalam matanya. Saat ini ia berusia 4 tahun.
“Kakek? Mama bilang kakek udah pergi jauh, ya, Nek?” lagi-lagi dengan polosnya ia bertanya. Aku tak sanggup membendung air mata. Kerinduanku pada Ilham, lelaki yang selama 30 tahun mendamping hidupku kembali terbayang. Aina, cucuku itu mengusap air mataku.
“Nenek gak boleh nangis. Emang kakek pergi kemana? Kakek pasti kembali,” bisiknya mencoba menenangkanku. Ah, bijaknya cucuku. Terimakasih Ilham kau telah meninggalkan keturunan yang sangat bijaksana sebelum malam membawamu pergi bersama lembayung. Aina semakin keheranan melihatku bengong.
“Nenek kenapa, sih? Kakek kemana?” kali ini pertanyaannya semakin mendesak. Ia mulai ikut menangis karena melihatku tak henti menangis. Kualihkan pandangan kami ke arah timur. Lembayung benar-benar telah tiada, sementara sisa-sisa warna senja masih tampak di ujung langit.
“Kau lihat warna jingga itu?” tanyaku. Ia mengangguk pelan seraya memandang langit.
“Kakek dibawa mereka menuju gelap yang pekat. Kakek tak mungkin kembali. Sekarang kita pulang, ya. Sebentar lagi malam gelap akan tiba. kita tak bisa berjalan di kegelapan,” ujarku seraya menuntunnya pulang.
            Aina hanya mengikutiku dengan menyimpan sejuta pertanyaan tentang senja, lembayung, dan malam. Sambil berjalan, matanya tak henti menatap ke belakang, ke arah senja yang beranjak hilang.